
Libur sekolah akhir tahun telah usai. Seperti aliran sungai yang tak pernah berhenti, waktu terus mengalir, membawa Azka kembali ke gerbang Raudatul Athfal Ashabul Kahfi 2.
Ketika liburan kemarin Azka sempat melihat aquarium raksasa di Seaworld Ancol, Jakarta.
Bermain dan belajar, dua sisi mata uang kehidupan seorang anak. Namun, ada kalanya, langkah kecil itu terhenti, terhalang oleh tembok bernama “mogok sekolah.”
[adomserter block=”7″]
Azka, dengan segala keunikan dunianya, pernah beberapa kali menolak untuk melangkah ke sekolah. Bukan tanpa alasan, tentu saja. Setiap penolakan adalah bisikan hati, sebuah cerita yang menunggu untuk didengar.
Setelah ditanya baik-baik, ternyata ia punya alasan tersendiri kenapa tidak mau sekolah.
Takut: Bayang-Bayang di Gerbang Sekolah
Alasan ini digunakan dua kali selama semester kemarin.
Takut, kata yang sederhana, namun mampu meruntuhkan benteng keberanian seorang anak. Azka, dalam hari-hari pertamanya, merasakan dinginnya ketakutan. Ia bukan anak yang mudah bergaul, bukan pula anak yang berani menerjang keramaian.
Berminggu-minggu, ia mencari perlindungan di balik kehadiran ibunya. Anehnya, ketika ayahnya mengantar, ia melangkah tanpa ragu. Mungkin, ada bahasa hati yang hanya bisa dipahami oleh mereka.
Takut kembali menghampiri, kali ini setelah insiden kecil di gerbang kelas. Tubuh mungilnya terdorong, jatuh, dan ketakutan itu membekas. Pagi hari menjadi medan perang, Bangun tidurnya susah, mandi pagi juga jadi ikutan susah dan selalu cemberut ketika harus pergi ke sekolah.
Kami mendengarkan, berdiskusi dengan gurunya, dan pelan-pelan, bayang-bayang itu menghilang.
Malu : Topeng di Balik Kepala Botak
Alasan kedua ketika Azka malas atau mogok sekolah adalah karena malu.
Malu, perasaan yang bisa menyelimuti hati siapa saja, bahkan seorang anak kecil. Azka, dengan kepala botaknya, merasa berbeda. walau tidak gundul yah, masih ada sisa rambut sepanjang 5 mm.
Padahal biasanya ia tidak pernah mengeluh dan selalu kompak dengan ayahnya kalau urusan rambut ini. Tapi kali ini hal itu membuat Azka menjadi malu dan menjadi alasan Azka tidak mau sekolah.
Setidaknya itulah penjelasan Azka ketika kami tanya kenapa malas sekolah. Malu sama teman-teman karena kepala Azka botak. Ketika kami tanya apa ada temannya yang meledek kepala botaknya, ia menjawab tidak ada.
Alhamdulillah kami dapatkan solusinya, kami minta izin dengan gurunya agar Azka diperbolehkan pakai topi selama di sekolah, menyembunyikan rasa malunya dari dunia.
Tetapi ternyata bukan hanya di sekolah saja ia malu, semenjak botak bila bepergian kemana saja Azka selalu minta pakai topi. 🙂
Topi itu menjadi perisai, bukan hanya di sekolah, tapi juga di setiap langkahnya.
Tidak Suka: Menari dan Melukis di Balik Tirai Keengganan
Di sekolah Azka, ada tiga ekstrakurikuler wajib: melukis, menari, dan drum band. Dua di antaranya, menari dan melukis, tak mampu menarik hatinya. Setiap kali jadwal itu tiba, ia enggan melangkah ke sekolah.
Setelah agak lama berkomunikasi akhirnya kami tahu penyebab rutin ia malas bersekolah. 🙂 Azka tidak suka menari dan melukis.Ternyata kali ini alasannya tidak mau bersekolah bukan karena takut atau malu, tapi karena ketidaksukaan yang jujur.
Kami mendengarkan, dan gurunya pun mengerti. Azka boleh tidak ikut, tapi tetap berada di kelas. Anehnya, ia tetap memperhatikan teman-temannya, bahkan menari di rumah. Mungkin, ada benih seni yang tersembunyi, menunggu waktu untuk tumbuh.
Untung saja gurunya mau memberikan keringanan untuk Azka, ia boleh tidak ikut kedua ekskul ini, tetapi ia tetap berada di kelas selama ekskul berlangsung.
Bahkan ia dapat mempraktekkan tarian yang diajarkan oleh gurunya, tetapi di rumah. 😀
Setidaknya itu tiga alasan yang pernah diutarakan Azka ketika kami tanya kenapa ia tidak mau bersekolah. Menjadi pendengar yang baik terbukti dapat membantu menyelesaikan masalah mogok sekolah ini.
Mendengar: Kunci Membuka Pintu Hati Anak
Tiga alasan, tiga cerita, tiga pintu hati yang berhasil kami buka. Mendengar, bukan sekadar menangkap suara, tapi juga memahami makna di baliknya. Azka, dengan segala kejujurannya, mengajarkan kami tentang pentingnya mendengarkan. Ia tak ragu bercerita, karena ia tahu, ada telinga yang selalu siap mendengarkan.
Azka, anakku, teruslah melangkah. Setiap langkahmu adalah pelajaran, setiap ceritamu adalah keajaiban. Tetaplah semangat, teruslah bermimpi, dan jangan pernah berhenti menjadi dirimu sendiri.