Antrean Rumah Sakit dan Tempat Berbagi Cerita Tak Terduga

Antrean Rumah Sakit dan Tempat Berbagi Cerita Tak Terduga 2
Image by PublicDomainPictures from Pixabay

Ruang tunggu rumah sakit. Tempat yang selalu berhasil membuat hatiku berdesir, seperti daun yang gemetar diterpa angin malam. Bukan karena aroma obat yang menusuk hidung, atau suara alat medis yang berdetak tanpa ampun, melainkan karena kehadiran manusia-manusia lain.

Mereka, yang datang dengan cerita masing-masing, dengan beban yang tak terlihat, dengan harapan yang kadang pupus, kadang bersemi.

[adinserter block=”7″

Aku, si penyuka kesendirian, si pelancong dalam sunyi, selalu merasa asing di tempat ini. Seperti seekor burung hantu yang tersesat di tengah keramaian pasar. Aku lebih suka menyelam dalam lautan kata-kata, berlayar di atas samudra imajinasi, daripada harus berhadapan dengan riuhnya interaksi.

Earphone terpasang, meski tak ada melodi yang mengalun. Hanya sunyi yang menemani, seperti heningnya malam di puncak gunung. Kadang, aku pura-pura terlelap, berharap mimpi akan membawaku pergi dari kenyataan ini, seperti burung yang terbang melintasi cakrawala.

Ini adalah benteng kecilku, sebuah ruang pribadi yang kubangun di tengah keramaian, tempat di mana aku bisa bersembunyi dari tatapan mata dan pertanyaan yang tak terucap, seperti seorang musafir yang menemukan oase di tengah gurun pasir.

 Seperti pulau kecil di tengah samudra luas, aku mencoba mengasingkan diri, meski ombak kehidupan terus menerjang. Namun, takdir punya cara unik untuk mempertemukan manusia. Suatu hari, seorang ibu paruh baya menyapaku, memecah kesunyian yang kubangun. Awalnya, aku ragu, tapi senyumnya yang tulus membuatku luluh.

Aneh, sungguh aneh. Seperti menabur garam di atas luka, atau menyalakan lilin di tengah terik matahari. Mereka, dengan segala ketidakpekaan, tetap saja mengajak bicara. Padahal, telinga ini telah berlabuh di pulau sunyi, terhalang dinding musik yang tak terdengar. Apakah mereka tak melihat, ini bukan sekadar earphone?

Ini adalah perisai, penghalang dari bisingnya dunia. Seperti seorang musafir yang lelah, aku hanya ingin sejenak beristirahat, membiarkan jiwa ini melayang di antara melodi yang hanya bisa kudengar sendiri

Percakapan kami berawal dari pertanyaan klise sesama pasien tentang penyakit, tapi kemudian berkembang menjadi curahan hati yang mendalam.

Ibu itu bercerita tentang perjuangannya melawan penyakit, tentang rumitnya birokrasi BPJS, dan tentang sepinya berjuang sendirian. Matanya berkaca-kaca, tapi bibirnya tetap tersenyum. Aku mendengarkan dengan seksama, merasakan setiap kata yang diucapkannya. Aku tahu, ia hanya butuh didengar, butuh seseorang yang mengerti.

Bukan hanya ibu itu, setiap hari adalah lembaran baru, kisah baru yang menghampiri. Percuma saja kubangun benteng sunyi dengan earphone dan pura-pura tidur. Seperti benang takdir yang tak terduga, mereka datang, membawa beban dan harapan masing-masing.

Ada yang bergetar menahan takut menghadapi pisau bedah, ada yang mengeluh tentang harga obat yang mencekik, dan ada pula yang matanya berkaca-kaca merindukan pelukan keluarga yang jauh. Di balik setiap wajah, tersimpan cerita yang tak terucap, luka yang tak terlihat, dan rindu yang tak terobati. Mereka seperti bintang-bintang yang berjatuhan, masing-masing membawa cahayanya sendiri, meski redup

Di antara riuhnya ruang tunggu, ada wajah-wajah yang menyimpan tanya. Mereka yang masih bergelut dengan penolakan, tak percaya bahwa tubuh yang dulu perkasa kini berkhianat.

Seperti ombak yang menolak surut, mereka menolak kenyataan.
‘Tidak mungkin,’ bisik mereka dalam hati,
‘ini pasti salah.’

Denial, benteng rapuh yang dibangun untuk melindungi diri dari badai kenyataan. Tapi, seperti benteng pasir di tepi pantai, ia akan runtuh diterjang waktu. Di antara keluh kesah itu, terselip harapan, kekuatan, dan ketegaran yang luar biasa.

Ruang tunggu rumah sakit, bukan sekadar tempat menanti giliran. Ia adalah persimpangan takdir, di mana luka dan harapan bertemu. Di antara mereka yang berjuang melawan penyakit, terjalin persahabatan yang tak terduga, seperti benang-benang takdir yang saling bertautan.

Aku, dengan kesendirianku, menjadi bagian dari mereka, bukan dengan kata-kata, tapi dengan telinga yang mendengarkan. Mereka butuh wadah untuk menumpahkan beban, keluh kesah yang menggunung dalam perjalanan panjang pengobatan. Aku menjadi saksi bisu, menjadi tempat mereka berlabuh, seperti dermaga kecil di tengah samudra penderitaan.

Tinggalkan Balasan

*