Ambruk dan Dirawat : Catatan Perjalanan Pasien Gagal Ginjal Kronis

Ambruk dan Dirawat : Catatan Perjalanan Pasien Gagal Ginjal Kronis 2

Dua tahun lalu, vonis gagal ginjal kronis itu datang, seperti senja yang tiba-tiba berubah mendung. Dan di sinilah saya sekarang, di depan pintu HCU RS Fatmawati, gerbang menuju perjuangan yang tak pernah terbayangkan.

Hidup memang penuh kejutan, kadang manis, kadang pahit, seperti kopi yang terlalu lama diseduh.

Penyebabnya?

Ambruk dan Dirawat : Catatan Perjalanan Pasien Gagal Ginjal Kronis 3

Tubuhku kebanjiran cairan. Saat tiba di IGD, timbangan menunjukkan angka 72 kg, dan dokter berkata, “Kita harus keluarkan 20 kg cairan dari tubuh Bapak.”

Bayangkan, 20 kg air.

Kurang lebih ada kelebihan cairan seukuran satu galon air mineral. Pantaslah dada ini semakin sesak. Menurut dokter kelebihan air itu menekan bagian paru-paru dan jantung dan tentu saja organ dalam lainnya.

Penyebab Gagal Ginjal Kronis

Dalam kasus  saya, biang keladi gagal ginjal kronis yang saya derita karena diabetes tak terkontrol, musuh dalam selimut yang perlahan-lahan menggerogoti tubuh. Gula darah tinggi, seperti racun yang mengalir dalam pembuluh darah, merusak setiap organ, termasuk ginjal yang malang.

Kerusakan itu seperti retakan kecil yang terus membesar, mengganggu kemampuan ginjal untuk menyaring limbah dan cairan berlebih. Ginjal, sang penyaring kehidupan, kini tak lagi mampu menjalankan tugasnya.

Saya mengakui kesalahanku. Saya terlalu angkuh, terlalu percaya diri, menganggap remeh penyakit ini. Saya malas kontrol rutin ke dokter, hanya mengandalkan obat-obatan tanpa pernah mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalam tubuh ini.

Keangkuhanku adalah kesalahanku. Saya seperti nahkoda yang mengabaikan kompas, membiarkan kapal terombang-ambing di tengah lautan yang ganas. Saya menyesal, sangat menyesal.

Tapi penyesalan tidak akan mengubah masa lalu. Yang bisa saya lakukan adalah belajar dari kesalahan, memperbaiki diri, dan terus berjuang. Saya berjanji, saya akan menjadi nahkoda yang lebih baik, yang lebih bijaksana, yang lebih peduli pada kapalnya.

Gejala Gagal Ginjal Kronis

Sejak dua tahun yang lalu mulai diketahui fungsi ginjal saya mulai menurun. Itu pun berdasarkan hasil Medical Check Up yang diadakan oleh kantor.

Ada protein di urine. Tanda yang paling gampang adalah ada buih di urine. Jadi anggapan beberapa rekan yang mengatakan buih itu karena kelebihan gula yang dibuang oleh ginjal ternyata salah yah.

Buih itu karena adanya protein di dalam urine.

Gejala-gejala lain yang saya alami antara lain :

  • Volume Buang Air Kecil menjadi lebih sedikit, walaupun jumlah air yang saya minum masih normal.
  • Mulai ada pembengkakan pada kaki, pergelangan kaki. Bengkaknya terkadang hilang setelah tidur. Salah satu fungsi ginjal adalah mengatur keseimbangan cairan yang ada di dalam tubuh, kelebihan cairan akan dibuang melalui urine. Rusaknya ginjal akan mengurangi kemampuan ginjal membuang cairan dari dalam tubuh.Cairan yang tidak terbuang inilah yang akan menumpuk di dalam tubuh.
  • Merasa lelah dan lemas sepanjang waktu.
  • Kulit terasa gatal bekasnya menghitam dan terlihat jelas pada betis dan pergelangan tanga. Ternyata gatal ini akibat penumpukan racun dalam darah.

Saya juga sering mengalami sesak napas yang disebabkan oleh penumpukan cairan di paru-paru (edema paru). Kondisi ini terasa parah saat berbaring telentang, sehingga harus menggunakan beberapa bantal untuk menopang kepala dan tubuh bagian atas agar bisa bernapas lebih lega.

Dokter penyakit dalam saya di RS Zahirah, langsung mengganti obat diabetes yang saya minum. Beberapa kali ganti pasangan obat, sampai akhirnya mengharuskan suntik insulin yang lebih aman bagi ginjal.

Tapi ternyata hal itu juga tidak banyak menolong. GFR saya pun terus menurun sampai menyentuh angka 11 persen. Saya pun harus di rujuk untuk berobat di RSUP Fatmawati yang mempunyai dokter spesialis penyakit ginjal dan hipertensi.

Eh sebentar, apa itu GFR?

GFR (Glomerular Filtration Rate) adalah laju filtrasi glomerulus, yaitu kecepatan darah yang disaring oleh ginjal. GFR merupakan indikator penting untuk menilai fungsi ginjal. Semakin tinggi GFR, semakin baik fungsi ginjal. Sebaliknya, GFR yang rendah menunjukkan bahwa ginjal tidak berfungsi dengan baik.

GFR diukur dalam satuan mililiter per menit (mL/menit). Nilai normal GFR untuk orang dewasa adalah sekitar 90-120 mL/menit. Namun, angka ini dapat bervariasi tergantung pada usia, jenis kelamin, dan ukuran tubuh.

Angka itu muncul, sepenggal informasi yang meruntuhkan harapan: GFR 11%.

Dokter berkata, “Ini kondisi yang sangat parah, Bapak. Stadium 5, stadium akhir gagal ginjal.”

Kata-kata itu seperti belati, menusuk jantungku, merobek keyakinan yang tersisa.

RSUP Fatmawati, benteng terakhir harapanku, masih berjuang. Dokter di sana berusaha sekuat tenaga, mencari celah, mencari kemungkinan agar saya tidak harus menjalani hemodialisa. Mereka tahu, cuci darah bukanlah pilihan yang mudah, bukanlah akhir dari segalanya, tapi awal dari perjuangan yang lebih berat.

Namun, tubuh ini tidak bisa diajak kompromi. Ia terus membengkak, seperti balon yang ditiup paksa, hingga batas maksimal. Sesak napas semakin menjadi-jadi, seperti ada tangan tak kasat mata yang mencekik leherku. Saya terengah-engah, mencari udara, mencari harapan.

Di titik itu, saya menyerah. Bukan menyerah pada penyakit, tapi menyerah pada keterbatasan tubuh. Saya sadar, saya tidak bisa lagi melawan arus. Saya harus menerima kenyataan, sepedih apa pun itu.

Menyerah bukanlah tanda kelemahan. Terkadang, menyerah adalah satu-satunya cara untuk bertahan, untuk memberi ruang bagi keajaiban. Saya percaya, selalu ada cahaya di ujung terowongan, selalu ada harapan di tengah keputusasaan.

Dan di balik setiap kegelapan, selalu ada kekuatan yang tersembunyi, kekuatan untuk bangkit kembali, untuk memulai lembaran baru.

IGD RS Umum Sibroh

Malam itu, Sabtu 17 Maret 2023, seperti tirai yang jatuh, saya menyerah.

Bukan menyerah pada hidup, tapi menyerah pada tubuh yang tak lagi mampu diajak kompromi. Lelah dan sesak napas, dua sahabat karib yang selalu setia menemani, kini menjelma menjadi musuh yang paling menakutkan.

Saya meminta diantar ke IGD RS Sibroh Malisi, mencari pertolongan pertama, mencari secercah harapan di tengah kegelapan. Di sana, tim medis bergerak cepat, seperti pasukan penyelamat yang sigap. Alat bantu napas dipasang, pemeriksaan darah lengkap dilakukan, semua demi mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalam tubuhku.

Ambruk dan Dirawat : Catatan Perjalanan Pasien Gagal Ginjal Kronis 4

Namun, kenyataan pahit kembali menghantam. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa hemodialisa, cuci darah, adalah satu-satunya jalan. Sayang, RS Sibroh tidak memiliki fasilitas itu. Saya harus dirujuk, dipindahkan ke rumah sakit lain yang memiliki unit hemodialisa.

RSUP Fatmawati, tempatku biasa berobat, menjadi tujuan selanjutnya. Kami berangkat, ditemani Eyang Ti, sosok yang selalu menjadi pelindung, menjadi kekuatan di saat-saat sulit. Si kecil, permata hatiku, dititipkan di rumah adikku, menunggu hingga badai ini reda, hingga semuanya kembali normal.

Perjalanan menuju RSUP Fatmawati bukan sekadar perpindahan tempat. Itu adalah perjalanan menuju babak baru, menuju perjuangan yang lebih berat. Di dalam mobil, saya menatap langit malam, mencari bintang-bintang, mencari petunjuk, mencari jawaban.

Saya tahu, perjalanan ini tidak akan mudah. Tapi saya juga tahu, saya tidak sendiri. Ada Eyang Ti, ada istriku, ada keluarga besar, ada sahabat, dan yang terpenting, ada Allah Subhana wa Ta’ala, Sang Maha Pencipta, yang selalu menyertai setiap langkahku.

IGD RS Fatmawati

Ambruk dan Dirawat : Catatan Perjalanan Pasien Gagal Ginjal Kronis 5

IGD RSUP Fatmawati malam itu, sebuah lautan manusia. Ruang perawatan penuh sesak, seperti kapal yang kelebihan muatan. Petugas penerima pasien, dengan wajah penuh pengertian, menyarankan untuk mencari rumah sakit lain, mencari tempat yang lebih lapang. Namun, kami tetap memilih RS ini, memilih untuk berlabuh di tengah badai.

Setelah pendaftaran, penantian dimulai. Seperti penumpang yang menunggu kapal berlayar, saya duduk di kursi tunggu, menatap wajah-wajah cemas di sekeliling. Akhirnya, namaku dipanggil. Ruang IGD, sebuah labirin yang penuh dengan suara mesin dan langkah kaki tergesa-gesa, menyambutku.

Tim medis bergerak cepat, seperti penari yang lincah. Pemeriksaan darah, urine, rontgen, EKG, semua dilakukan dengan sigap, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalam tubuhku. Hasilnya, sebuah keputusan diambil. Saya harus dipindahkan ke ruang HCU, High Care Unit, sebuah tempat yang terletak di lantai atas gedung IGD, sebuah tempat yang dijanjikan perawatan yang lebih intensif.

Pintu itu terbuka lebar, seolah menyambut saya dengan senyum getir. Di balik pintu itu, terbentang lorong-lorong takdir, jalan setapak yang penuh liku, dan jurang-jurang keputusasaan. Tapi saya tidak sendiri. Di sampingku, ada bayang-bayang masa lalu, kenangan-kenangan indah yang menjadi jangkar, menahanku agar tidak hanyut dalam arus kesedihan.

Dua minggu di ruang HCU (High Care Unit) menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Saya harus menjalani operasi pemasangan akses hemodialisa CDL (Catheter Double Lumen) untuk memulai terapi cuci darah. Beberapa kali saya harus menjalani hemodialisa untuk mengeluarkan sekitar 20 kg cairan yang menumpuk di tubuh saya. Selama masa perawatan, jujur saja, makanan di rumah sakit tidak menggugah selera, hehehe.

HCU RS Fatmawati bukan sekadar ruang perawatan. Tempat ini adalah panggung kehidupan, tempat di mana harapan dan keputusasaan berdansa, tempat di mana air mata dan senyum beradu. Di sini, saya bertemu dengan orang-orang yang senasib, para pejuang yang tak kenal lelah, yang terus berjuang melawan penyakit mereka.

Di balik setiap wajah yang pucat, ada kisah yang mengharukan, ada semangat yang membara, ada cinta yang tak pernah padam. Mereka adalah cermin bagi saya, mengingatkan bahwa saya tidak sendirian, bahwa ada banyak orang di luar sana yang sedang berjuang, yang sedang mencari cahaya di tengah kegelapan.

Dan di tengah perjuangan ini, saya menemukan makna hidup yang sesungguhnya. Saya belajar untuk menghargai setiap detik, setiap helaan napas, setiap senyuman. Saya belajar untuk mencintai diri sendiri, untuk menerima segala kekurangan, untuk merayakan setiap kelebihan.

Bidadari Tak Bersayap Itu Nyata Adanya

Ambruk dan Dirawat : Catatan Perjalanan Pasien Gagal Ginjal Kronis 6
Bersama Bidadari-Bidadari

Di tengah badai yang menerjang, di saat-saat kelam yang seolah tak berujung, ada setitik cahaya yang menembus kegelapan. Ada dua orang bidadari yang selalu hadir, seorang bidadari setia menemani di ruang tunggu, dan seorang lagi yang selalu mendoakan dari jarak jauh.

Kehadirannya bukan sekadar fisik, tapi juga jiwa. Setiap senyumnya adalah pelita, setiap kata-katanya adalah oase di padang gurun. Di matanya, saya melihat harapan, di hatinya, saya merasakan cinta yang tak pernah pudar.

Bidadari-bidadari itu adalah jangkar, menahan saya agar tidak hanyut dalam arus keputusasaan. Mereka adalah kompas, menuntun saya kembali ke jalan yang benar. Dia adalah perisai, melindungi saya dari segala ketakutan dan keraguan.

Di setiap detik, di setiap helaan napas, mereka memberi saya kekuatan untuk terus berjuang. Mereka mengingatkan bahwa saya tidak sendirian, bahwa ada cinta yang selalu menyertai.

Mereka adalah anugerah terindah dalam hidup saya. Mereka adalah bukti bahwa cinta sejati itu ada, bahwa di tengah kesulitan, selalu ada kebaikan yang menyertai.

Dan di setiap langkah, di setiap perjuangan, saya selalu mengingatnya. Mereka adalah alasan mengapa saya tidak pernah menyerah, mengapa saya terus berjuang, mengapa saya terus berharap

Gagal ginjal kronis bukanlah akhir dari segalanya. Ini adalah awal dari perjalanan baru, perjalanan untuk menemukan kekuatan dalam diri, untuk menemukan harapan di tengah keputusasaan, untuk menemukan cinta di tengah kebencian.

Kesehatan adalah anugerah yang tak ternilai. Pengalaman ini menjadi pelajaran berharga bagi saya untuk lebih menjaga kesehatan. Semoga cerita ini dapat memberikan inspirasi dan motivasi bagi kita semua untuk selalu menjaga kesehatan.

Jaga kesehatan ya, teman-teman. Kesehatan itu mahal harganya.

Tinggalkan Balasan

*