
Dua tahun. Dua putaran musim yang kami lewati sambil menari dalam irama kehidupan seorang balita. Dan dalam tarian itu, satu hal yang paling jelas terukir di benak kami: anak kecil adalah peniru yang ulung.
Mereka menyerap dunia di sekitarnya bagai spons, meniru setiap gerak, setiap kata, bahkan setiap helaan napas orang-orang terdekatnya.
Begitu pula dengan buah hati kami, Azka.
Awalnya, matanya yang bulat itu hanya mengikuti dengan rasa ingin tahu setiap kali salah satu dari kami menyelipkan selembar atau beberapa lembar uang ke dalam kotak kayu sederhana yang biasanya berdiri tegak di depan pintu mini market. Kotak amal.
Bagi Azka yang baru menjejakkan kaki di dunia ini, mungkin hanya sebuah kotak biasa. Namun, ada ritual kecil yang selalu menyertainya, sebuah kebiasaan tanpa kata yang perlahan meresap ke dalam benaknya.
Lama kelamaan, rasa ingin tahu itu bertransformasi menjadi keinginan. Suatu hari, tangannya yang mungil terulur, mencoba meraih uang yang ada di genggaman kami. Dengan bimbingan lembut, kami biarkan ia memasukkannya sendiri ke dalam celah kotak.
Di saat itulah, bisikan doa lirih selalu menyertai tindakannya, “Ya Allah, terima sedekahnya Azka, Ya Allah. Amin.”
Tak jarang, “amin” kecil akan mengikuti, diiringi usapan kedua tangannya ke wajah, meniru persis gerakan yang dilihatnya. Sungguh pemandangan yang menghangatkan hati.
Hari ini, cerita tentang kotak kayu itu kembali terukir, namun dengan sentuhan yang lebih menggetarkan. Sebelum berangkat berbelanja ke mini market langganan, ibunya menyelipkan selembar uang dua ribuan ke dalam saku celana Azka.
“Nanti buat bayar yah, Mas,” ujarnya lembut.
“Iyaaa…” jawab Azka dengan kosakata yang masih terbatas, namun penuh semangat.
Selesai berbelanja, tanpa ada aba-aba, tanpa bisikan dari kami, kaki-kaki kecil Azka tiba-tiba membelok arah. Ia berjalan mantap menuju kotak amal yang berdiri tak jauh dari kasir. Tangannya merogoh saku celananya, mengeluarkan uang dua ribuan yang tadi diberikan ibunya. Sebuah tindakan spontan, murni dari dalam hatinya. Ia memasukkan uang itu ke dalam celah kotak, tanpa ragu, tanpa diminta.
Jejak Langkah Kecil dan Kotak Kayu di Depan Pintu
Dua tahun. Dua putaran musim yang kami lewati sambil menari dalam irama kehidupan seorang balita. Dan dalam tarian itu, satu hal yang paling jelas terukir di benak kami: anak kecil adalah peniru yang ulung. Mereka menyerap dunia di sekitarnya bagai spons, meniru setiap gerak, setiap kata, bahkan setiap helaan napas orang-orang terdekatnya. Begitu pula dengan buah hati kami, Azka.
Awalnya, matanya yang bulat itu hanya mengikuti dengan rasa ingin tahu setiap kali salah satu dari kami menyelipkan selembar atau beberapa lembar uang ke dalam kotak kayu sederhana yang biasanya berdiri tegak di depan pintu mini market. Kotak amal. Bagi Azka yang baru menjejakkan kaki di dunia ini, mungkin hanya sebuah kotak biasa. Namun, ada ritual kecil yang selalu menyertainya, sebuah kebiasaan tanpa kata yang perlahan meresap ke dalam benaknya.
Lama kelamaan, rasa ingin tahu itu bertransformasi menjadi keinginan. Suatu hari, tangannya yang mungil terulur, mencoba meraih uang yang ada di genggaman kami. Dengan bimbingan lembut, kami biarkan ia memasukkannya sendiri ke dalam celah kotak. Di saat itulah, bisikan doa lirih selalu menyertai tindakannya, “Ya Allah, terima sedekahnya Azka, Ya Allah. Amin.” Tak jarang, “amin” kecil akan mengikuti, diiringi usapan kedua tangannya ke wajah, meniru persis gerakan yang dilihatnya. Sungguh pemandangan yang menghangatkan hati.
Hari ini, cerita tentang kotak kayu itu kembali terukir, namun dengan sentuhan yang lebih menggetarkan. Sebelum berangkat berbelanja ke mini market langganan, ibunya menyelipkan selembar uang dua ribuan ke dalam saku celana Azka. “Nanti buat bayar yah, Mas,” ujarnya lembut. “Iyaaa…” jawab Azka dengan kosakata yang masih terbatas, namun penuh semangat.
Selesai berbelanja, tanpa ada aba-aba, tanpa bisikan dari kami, kaki-kaki kecil Azka tiba-tiba membelok arah. Ia berjalan mantap menuju kotak amal yang berdiri tak jauh dari kasir. Tangannya merogoh saku celananya, mengeluarkan uang dua ribuan yang tadi diberikan ibunya. Sebuah tindakan spontan, murni dari dalam hatinya. Ia memasukkan uang itu ke dalam celah kotak, tanpa ragu, tanpa diminta.
Keinginan Azka untuk berbagi, untuk memberi, ternyata telah bersemi di hatinya yang kecil. Bukan hanya saat melihat kotak amal di mini market, tetapi juga ketika ia ikut menemani ayahnya shalat Jumat, matanya selalu tertuju pada kotak yang sama. Ia bahkan meminta uang khusus untuk dimasukkan ke dalamnya.
Meskipun benaknya belum mampu sepenuhnya memahami makna mendalam di balik keutamaan sedekah, semangatnya untuk meniru kebiasaan baik orang tuanya adalah sebuah pelajaran berharga bagi kami. Ia adalah cermin kecil yang memantulkan setiap tindakan kami, menjadi pengingat yang tak ternilai untuk senantiasa menjadi teladan yang baik.
“Azka mau nabung,” ujarnya suatu hari, dengan kosa kata yang masih belum sempurna. Ya, Nak. Ini adalah tabungan yang sesungguhnya, tabungan untuk bekal di akhirat kelak. Jangan pernah berhenti menabuh kebaikan, walau hanya dengan senyuman tulus yang kau berikan pada sesama.
Salah satu ayat dalam Al-Quran yang berisi perintah untuk bersedekah adalah :

“Menghadapkan wajahmu ke arah timur atau barat itu bukanlah suatu kesempurnaan, tapi sesungguhnya yang sempurna adalah orang yang beriman kepada Allah dan kepada Nabi-Nya, serta memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil, orang yang meminta-minta dan membebaskan hamba sahaya, dan mendirikan shalat serta menunaikan zakat.”
(Qur;an Surah Al-Baqarah : 177).
Sebagai orang tua, tugas kita adalah terus menuntun hati yang kecil ini untuk memahami esensi dari setiap kebaikan. Kita bisa bercerita tentang orang-orang yang gemar berbagi dan kebahagiaan yang mereka rasakan. Kita bisa mengajaknya untuk merasakan langsung indahnya memberi, melihat senyum merekah di wajah orang lain karena uluran tangan kita.
Menanamkan benih kebaikan sejak dini, seperti kebiasaan bersedekah, adalah investasi yang tak ternilai harganya. Kita sedang membentuk jiwa yang peduli, hati yang dermawan, dan iman yang kokoh dalam diri anak-anak kita. Dan pada akhirnya, kebahagiaan terbesar bagi orang tua adalah melihat buah hatinya tumbuh menjadi insan yang berkarakter mulia.
Semoga kita semua senantiasa menjadi hamba Allah Subhana Wa Ta’ala yang gemar bersedekah dan berinfak di jalan-Nya. Dan semoga setiap kebaikan yang kita tanam, sekecil apapun, diterima dan menjadi pemberat timbangan amal kelak. Karena bahkan dari langkah kecil seorang balita menuju kotak kayu sederhana, kita belajar tentang keikhlasan dan indahnya berbagi.