
Bogor, meski sedikit jauh dari rumah kami, selalu menjadi magnet bagi petualangan keluarga kami. Bukan Puncaknya yang kami tuju, melainkan pesona kota yang mudah diakses dari Stasiun Bogor.
Jungleland, The Jungle, kuliner Surya Kencana, alun-alun kota, Museum Zoologi, dan tentu saja, Kebun Raya Bogor, selalu menawarkan pengalaman yang berbeda. Kali ini, kami kembali menjejakkan kaki di Kebun Raya Bogor, membawa serta Eyang dan sepupu-sepupu Azka, agar petualangan kami semakin meriah.
Perjalanan kali ini kami tidak hanya bertiga , tetapi juga mengajak Eyang ti nya Azka dan sepupu-sepupunya. Biar makin ramai dan seru kata Azka.
Transportasi Umum ke Kebun Raya Bogor
Pagi itu, mentari menyusup malu-malu di antara atap peron Stasiun Universitas Pancasila, seolah tahu kami hendak memulai perjalanan. Kereta tujuan Bogor, lapang dan tenang, mengantarkan kami menjauh dari hiruk-pikuk Jakarta.
Kursi-kursi kosong itu menatap kami, seolah bertanya, ‘Mau ke mana kalian pagi ini?’
Berbeda dengan kereta-kereta menuju Jakarta Kota, yang selalu penuh sesak dengan mimpi dan harapan yang terburu-buru. Di sana, di antara desakan penumpang, mungkin ada hati yang sedang patah, atau mungkin ada cinta yang sedang bersemi. Tapi di kereta ini, hanya ada kami, dan janji petualangan yang menunggu di ujung rel.
Alhamdulillah semuanya dapat tempat duduk.
Baca Juga : Jangan Ke Jungleland di Kala Musim Hujan
Untuk sampai ke stasiun Bogor, kereta akan melewati stasiun Universitas Pancasila – Universitas Indonesia – Pondok Cina – Depok Baru – Depok – Citayam – Bojong Gede – Cilebut – Bogor. Dan waktu tempuhnya sekitar 45 menit. Harga tiket keretanya adalah 4.000 rupiah.
Kereta itu, perlahan tapi pasti, mengosongkan diri setelah stasiun Citayam terlewati. Seperti daun-daun yang gugur satu per satu di musim gugur, penumpang pun berpamitan pada kursi-kursi yang telah menemani perjalanan.
Tiba di stasiun Bogor, kami seperti anak-anak yang baru menemukan harta karun. Gemblong ketan, dengan manisnya yang khas, dan cemilan-cemilan lain, menjadi buruan utama. Padahal, tas Eyang sudah penuh sesak dengan bekal.
Bekal yang tidak sedikit. 😀
Seperti seorang ibu peri yang selalu siap sedia, beliau tak pernah lupa menyiapkan kejutan-kejutan kecil untuk cucu-cucunya. Mungkin, begitulah cinta. Sederhana, namun selalu cukup, bahkan berlebih
Usai urusan perbekalan, kami pun beranjak, mencari angkot yang melintasi gerbang utama Kebun Raya Bogor. Gerbang yang berdiri gagah di Jalan Ir. H. Juanda No.13, tepat berseberangan dengan Lawang Surya Kencana. Kami memilih gerbang itu, bukan tanpa alasan. Di sanalah, di area gerbang utama, loket tiket shuttle bus berada, menanti para pelancong yang ingin menjelajahi keindahan Kebun Raya tanpa lelah.
Nomor angkotnya? Ah, itu bagian yang terlupa. 😀
Seperti halnya kenangan yang kadang memudar, nomor angkot itu lenyap ditelan waktu. Namun, jangan khawatir, kawan. Cukup tanyakan angkot yang menuju pintu utama Kebun Raya Bogor, atau Museum Zoologi. Para sopir angkot di Bogor, mereka adalah penunjuk jalan yang handal, siap mengantarkanmu ke tujuan. Seperti halnya kehidupan, kadang kita lupa detail kecil, tapi tujuan utama tetaplah jelas.
Harga Tiket Masuk Kebun Raya Bogor
Angkot itu melaju, membelah pagi yang masih malu-malu di kota Bogor. Ia membawa kami, bukan hanya melewati jalanan, tapi juga menembus lembaran sejarah. Istana Bogor, berdiri angkuh dengan cerita-cerita bisu yang tersimpan di setiap sudutnya. Gereja Katedral, menjulang dengan kesunyian yang khusyuk, seolah menanti doa-doa yang akan dipanjatkan. Taman Sempur, dengan hijaunya yang menenangkan, tempat jiwa-jiwa lelah mencari teduh. Tugu Kujang, simbol kota yang gagah, menunjuk langit dengan kesetiaan.
Dari sana, kami melanjutkan perjalanan. Menyeberangi Jalan Ir. H. Juanda, yang pagi itu sudah ramai dengan deru kendaraan. Langkah-langkah kami menapaki aspal, mencari celah di antara lalu lalang. Setelah berhasil mencapai seberang, kami berdiri di depan gerbang utama Kebun Raya Bogor.
Di sana, di antara pepohonan rindang dan udara segar, kami membeli tiket masuk. Seperti sebuah undangan untuk menyelami keindahan yang tersembunyi di dalamnya.
Harga Tiket Masuk Senin – Jum’at | Ro. 16.500/orang |
Harga Tiket Masuk Sabtu/Minggu/Libur National | Rp. 26.500/orang |
Kalau mau masuk ke Museum Zoologi, kita harus membeli tiket lagi dengan harga :
Harga Tiket Masuk Senin – Jum’at | Ro. 15.000/orang |
Harga Tiket Masuk Sabtu/Minggu/Libur National | Rp. 25.000/orang |
Katanya, murah itu relatif. Tapi, kalau mau cari damai di Kebun Raya, datanglah di hari kerja. Bukan soal angka di tiketnya saja, tapi tentang ruang yang bisa kau hirup lebih lega, tentang sunyi yang tak terpecah riuh canda.
Tiket di tangan, bukan berarti pintu langsung terbuka. Ada palang besi berputar, serupa gerbang stasiun, menanti barcode di tiketmu. Jangan cemas, kawan. Jika bingung, ada tangan-tangan yang siap membantu, petugas yang berjaga di dekat sana. Kadang, hidup memang soal melewati gerbang, ada yang mudah, ada yang butuh sedikit bantuan.
Naik Shuttle Bus di Kebun Raya Bogor
Setelah menuruni anak tangga, kami disambut oleh kesejukan yang merambat, seperti pelukan dari pepohonan raksasa. Kebun Raya Bogor, dengan segala keteduhannya, seolah mengajak kami untuk melupakan sejenak hiruk-pikuk dunia luar.
Perjalanan pun berlanjut, menyusuri jalan beraspal yang mengarah ke persimpangan. Di sana, loket tiket shuttle bus berdiri, tak jauh dari Raffles Cafe. Selain bus, ada juga skuter dan golf cart, pilihan bagi mereka yang ingin menjelajah dengan cara berbeda. Seperti hidup, selalu ada pilihan jalan yang bisa diambil, bukan?
Harga Tiket Shuttle Bus | Ro. 25.000/orang |
Harga Sewa Golf Cart 4 seat | Rp. 250.000/jam |
Harga Sewa Golf Cart 6 seat | Rp. 300.000/jam |
Harga Sewa Scooter | Rp. 45.000/30 menit |
Di Kebun Raya Bogor, ada aturan tertulis tentang skuter. Katanya, hanya yang punya SIM C yang boleh menungganginya. Anak-anak, dengan mata berbinar dan semangat yang membara, harus menelan kecewa. Mungkin, ini cara dunia memberi tahu, ada hal-hal yang perlu diperjuangkan, ada batasan yang harus dipahami.
Gelang kertas di tangan, tiket menuju petualangan dengan bus listrik. Bus yang tak bersuara, tak meninggalkan jejak asap, seolah ingin menyatu dengan alam Kebun Raya. Di sini, kita belajar tentang harmoni, tentang bagaimana manusia dan alam bisa berjalan beriringan.
Ketika membeli tiket shutte bus, sudah ditentukan kita akan menaiki bus nomor berapa. Penumpang tidak bisa berpindah bis yang berbeda dengan nomor tiketnya. Busnya cukup banyak, namun calon penumpangnya lebih banyak lagi. 😀
Tak lama menunggu kami pun menaiki bus yang sudah ditentukan. Saya dan para krucil duduk di bagian belakang, yang duduknya membelakangi arah maju kendaraan. Yang akhirnya di komplai anak-anak, pusing kata mereka. 😀




Bus melaju, membawa kami menyusuri jalanan Kebun Raya. Pak supir, dengan suara yang hangat, bercerita tentang setiap sudut yang kami lewati.
Taman Aquatic, tempat air menari dalam diamnya. Mexico Garden, di mana kaktus-kaktus berbisik tentang gurun yang jauh. Taman Anggrek, tempat bunga-bunga berbisik tentang cinta yang mekar.
Kami menyeberangi Sungai Ciliwung, yang mengalir tenang, membawa cerita masa lalu. Komplek Makam Keramat, tempat sejarah beristirahat dalam damai. Makam Belanda, tempat kenangan Eropa bersemi di tanah tropis. Dan tentu saja, Istana Presiden, yang berdiri kokoh, menyimpan rahasia negara.
Sayangnya, bus tak berhenti. Kami hanya bisa menatap, tak bisa menyentuh. Seperti cinta yang tak terbalas, hanya bisa dikagumi dari jauh. Namun, kata-kata pak supir cukup menghibur, mengobati rasa penasaran. Setidaknya, kami tak perlu berjalan kaki di Kebun Raya seluas 87 hektar ini.
Kadang, melihat dari jauh pun sudah cukup, bukan?
Sewa Sepeda
Setelah bus listrik itu mengantar kami mengelilingi sudut-sudut Kebun Raya, kami memutuskan untuk piknik di dekat Kolam Gunting. Bekal makan siang dan camilan kecil kami keluarkan, seperti membuka lembaran-lembaran kenangan. Dari tepi kolam, halaman belakang Istana Kepresidenan tampak begitu dekat, namun terasa jauh dalam hiruk-pikuk pikiran.
Di tempat ini, pulau kecil di tengah kolam menjadi saksi bisu, dengan flora dan fauna yang hidup dalam harmoni. Seekor biawak tiba-tiba muncul, berenang membelah air, membuat riuh rendah tawa anak-anak. Seperti melihat cermin kehidupan, kadang yang liar pun bisa menjadi hiburan.
Tak jauh dari sana, deretan sepeda menanti untuk disewa. Namun, hari itu keberuntungan sedang bersembunyi. Semua sepeda telah beranjak pergi, kecuali satu sepeda roda empat yang setia menanti. Anak-anak menolak, kecuali si bungsu, yang mungkin melihat petualangan di balik roda-roda itu.
Kafe dan penjual makanan berdiri di sana, menawarkan pelarian dari rasa lapar. Harga-harga mereka, standar tempat wisata, seperti mengingatkan bahwa kebahagiaan kadang memiliki label harga.
Menjelang dzuhur, kami mengemasi sisa-sisa piknik, seperti mengumpulkan serpihan-serpihan kenangan. Kami bersiap pulang, meninggalkan Kebun Raya dengan janji untuk kembali. Mungkin lain kali, kami akan menjelajahi setiap sudutnya dengan langkah kaki, merasakan setiap jengkal tanahnya.
Tentu saja, jika kaki ini masih kuat menopang rindu
Hehehehe.