Malam Takbiran yang Meriah di Rumah Eyang Uti

Pawai Obor?

Malam itu, langit Jakarta bertabur bintang, dan udara dipenuhi lantunan takbir. Seperti tahun-tahun sebelumnya, rumah Eyang Uti kembali menjadi saksi bisu kemeriahan pawai obor menyambut Idul Fitri. Azka, bersama kedua sepupunya, Faiz dan Nisa, sudah tak sabar untuk ikut serta.

[adomserter blocK=”7″]

Tahun ini istimewa. Pasukan lengkap! Jika tahun lalu Azka hanya ditemani ayahnya, kali ini Faiz dan Nisa tidak mudik ke Solo. Para ibu dan Nisa memilih mengikuti pawai dengan sepeda motor, sementara anak-anak laki-laki dengan gagah berani berjalan kaki membawa obor.

Di malam takbiran itu, Gang Cemara kembali berdenyut, bukan oleh langkah kaki orang dewasa, melainkan oleh langkah-langkah kecil yang penuh semangat. Pawai obor, tradisi yang khusus dipersembahkan untuk anak-anak, seolah menjadi penanda bahwa malam ini adalah milik mereka. Api obor yang berkobar, seperti nyala harapan yang ditanamkan dalam hati setiap anak, agar kelak mereka tumbuh menjadi pribadi yang mencintai takbir, mencintai malam kemenangan.

Aku, yang telah lama menjadi bagian dari Gang Cemara, tak lagi ingat kapan tradisi ini bermula. Waktu telah mengaburkan ingatan, seperti kabut yang menyelimuti pagi hari. Yang kuingat, masa kecilku di gang ini tak semeriah ini. Dulu, malam takbiran hanya diisi oleh suara takbir dari masjid, bukan oleh riuh rendah suara anak-anak yang membawa obor.

Namun, perubahan adalah bagian dari kehidupan. Seperti halnya sungai yang terus mengalir, tradisi pun terus berkembang, menyesuaikan diri dengan zaman. Mungkin, inilah cara Gang Cemara merayakan Idul Fitri, dengan memberikan ruang bagi anak-anak untuk merasakan kebahagiaan, untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan dalam hati mereka.

Api obor yang berkobar, langkah-langkah kecil yang penuh semangat, suara takbir yang menggema di langit malam. Inilah Gang Cemara, dengan segala perubahannya, dengan segala keindahannya. Dan aku, sebagai bagian dari gang ini, hanya bisa menyaksikan, tersenyum, dan bersyukur.

Ternyata, jalan kaki malam-malam sejauh tiga kilometer itu bukan sekadar jalan kaki biasa. Seperti halnya perjalanan hidup, ada tanjakan dan turunan yang harus dilalui. Keringat yang bercucuran, seperti air mata yang menetes saat menghadapi kesulitan, adalah bukti bahwa kita telah berusaha.

Malam itu, jalanan menjadi saksi bisu perjalanan kami. Bukan sekadar perjalanan fisik, tapi juga perjalanan hati. Setiap langkah, seperti setiap keputusan, membawa kita semakin dekat dengan tujuan.

Jalanan yang naik turun, seperti pasang surut kehidupan, mengingatkan kita bahwa tidak ada yang abadi. Kadang, kita berada di atas, menikmati pemandangan indah. Kadang, kita berada di bawah, berjuang untuk bangkit. Tapi, yang terpenting, kita terus berjalan, terus mencari makna.

Mungkin, tiga kilometer itu tidak seberapa. Tapi, dalam setiap langkah, ada cerita, ada kenangan, ada pelajaran. Dan, seperti halnya setiap lagu yang kutulis, setiap perjalanan memiliki pesannya sendiri.

Rute Pawai Obor

Malam Takbiran yang Meriah di Rumah Eyang Uti 1

Rute pawai obor kali ini masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Berangkat dari Musholla Al Amanah di Gg. Cemara, peserta pawai obor keluar dari Gg. Cemara – Jl. Cilandak KKO – Jl. Kp Utan – Jl. Khair – Jl. Harsono RM – Jl. Poncol – Gg. Abah.

Kalau menurut google maps sih jarak yang ditempuh oleh peserta takbir keliling sekitar 2.8 km, dengan waktu tempuh 35 menit. Real timenya hampir 1 jam kami berjalan kaki mengikuti iring-iringan.

Takbir kelilingnya dimulai setelah shalat isya dan kembali berada di Musholla Al Amanah sekitar pukul 20.30.

Ketika kami melewati Masjid Nurul Fallah, Jl. Harsono RM, rombongan kami bertemu kembali dengan beberapa rombongan pawai dalam rangka menyambut Idul Fitri 1440 Hijriah.

Bila melihat dari berbagai macam atribut yang mereka bawa sepertinya mereka akan mengikuti lomba pawai antar RW (Rukun Warga) di kelurahan Ragunan.

Usai takbir keliling, setiap anak mendapat remah-remah kebahagiaan, dalam bentuk makanan kecil. Seperti halnya perjalanan panjang, setiap petualangan selalu meninggalkan jejak. Jejak lelah, jejak kenangan.

Dan malam itu, di rumah eyang, Azka meminta kakinya dipijat. Pegal dan capek, katanya. Seperti halnya hati, tubuh pun butuh istirahat, butuh sentuhan lembut. Setiap langkah yang diambil, setiap tawa yang diukir, meninggalkan bekasnya.

Mungkin, bagi sebagian orang, takbir keliling hanyalah tradisi biasa. Tapi bagi Azka, dan mungkin bagi anak-anak lainnya, itu adalah petualangan. Petualangan yang menguras tenaga, tapi juga memberi kenangan.

Kenangan tentang malam takbiran, tentang obor yang menyala, tentang kebersamaan.

Kami sekeluarga mengucapkan

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1440 Hijriah

Taqoballahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum, wa ja’alanallahu wa iyyakum minal aidzin wal faidzin

Tinggalkan Balasan

*