“Kok lengket banget yah dengan ayahnya?” ujar seorang bapak dengan nada heran kepada temannya.
Ucapan itu terlontar ketika melihat saya dan Azka jalan berduaan di Fortuna Swalayan dekat rumah.
Yups, jalan berduaan dengan si kecil Azka yang belum genap 4 tahun.
Seperti biasa bila hari Jum’at saya selalu mengajak Azka untuk ikut shalat Jum’at di Masjid Asy-Syakirin.
Walau ia belum mengerti bacaan shalat.
Usai menunaikan shalat, langkah kaki tak langsung menuju rumah. Ada ritual lain yang tak boleh dilewatkan, yaitu mampir ke Fortuna Swalayan. Bukan untuk berbelanja, melainkan untuk menemani si kecil bermain di playground anak-anak.
Every father should remember one day his son will follow his example, not his advice.
Kembali ke celetukan si bapak tadi.
Celetukan-celetukan ini, entah bernada kagum atau heran, selalu mengundang tawa di antara para bapak-bapak. Bagi mereka, pemandangan ayah dan anak balita yang berduaan saja masih terbilang asing.
Pandangan tradisional yang menempatkan ibu sebagai pengasuh utama anak masih melekat kuat. Sehingga, melihat seorang ayah yang dengan penuh tanggung jawab mengasuh dan menemani anaknya bermain, tak pelak menjadi bahan perbincangan.
Namun, seiring dengan perubahan zaman dan semakin tingginya kesadaran gender, pemandangan seperti ini sudah mulai lumrah. Para ayah semakin aktif dalam mengasuh anak, dan tak lagi ragu untuk membawa anak mereka ke tempat-tempat publik seperti swalayan..
Baca Juga : Flashback Video Dengan Azka
Bahkan pernah suatu kali saya dan Azka menjadi perhatian sekelompok bapak-bapak. Penyebabnya sepele, karena Azka minta buang air besar padahal kami sedang berbelanja di sebuah mini market.
Alhamdulillah di mini marketnya ada toilet untuk karyawan. Setelah minta ijin terlebih dahulu akhirnya saya pun menemani Azka ke toilet untuk buang air besar.
Kalau bukan saya ya siapa lagi… 😀
Dan saya dengar salah seorang bapak itu berkata,”Kalau anak gua sih gak mau kalau gak sama ibunya.”
Maksudnya tentu saja kok mau yah Azka buang air besar dan di bersihkan oleh ayahnya.
Tanggung Jawab Bersama
Sejak kelahiran Azka, saya sebagai ayah selalu terlibat dalam tumbuh kembang my little boy ini. Tidak ada pemisahan bahwa si kecil segala sesuatunya harus ditangani oleh ibunya.
Dari hal-hal seperti memandikan dari sejak lahir sampai sekarang, menyuapi makan, memakaikan pakaian, menina bobokan dan tentu saja bermain dengannya menjadi tugas kami berdua.
Kecuali ketika Azka minta nenen yah. Itu jelas tanggung jawab ibu yang tidak bisa digantikan oleh sang ayah. Apalagi Azka cukup lama menikmati ASI ibunya.
Azka lulus di sapih ketika ia sudah berusia 2 tahun 11 bulan. 🙂
Buat kami pengasuhan dan pendidikan anak adalah tanggung jawab kami bersama. Bila ibunya sedang lelah karena menyusui Azka semalaman, tidaklah menjadi soal bagi saya sebagai ayah untuk mengerjakan segala pekerjaan rumah.
Menyusui itu melelahkan lho.
Kenapa tidak dikasih susu formula (sufor) saja agar ibunya dapat beristirahat? Jawabannya simpel aja.
Azka tidak suka susu formula dan dot bayi.
Memang Tidak Malu?
Memang sih terkadang ada ibu-ibu temannya istriku bila sedang main ke rumah kami. mereka suka heran ketika melihat saya sedang mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Pertanyaannya biasanya seragam, kok mau dan nggak malu yah?
Sayang nanyanya ke istriku, kalau ke saya langsung pasti aku jawab kenapa enggak?
Kenapa malu harus mengerjakan pekerjaan rumah? Kenapa harus malu karena memandikan si kecil, membersihkan kotorannya, menyuapinya, memakaikan bedak, pampers, pakaian si kecil?
Pertanyaan atau ujaran seperti itu tidaklah mengherankan. Karena di dalam masyarakat kita disadari atau tidak, ada semacam perbedaan antara peran ayah dan ibu.
Seorang ayah dianggap baik bila dapat bertanggung jawab dalam pemenuhan nafkah keluarga. Adapun untuk pengasuhan dan pendidikan anak banyak dipegang oleh ibu.
Jadi ketika ada ayah yang ikut mengurus anak hal itu menjadi suatu hal yang aneh
Padahal seorang ayah dapat menjadi role model bagi anak-anaknya ketika besar nanti, apalagi buat anak laki-laki. Setidaknya saya harus mencontohkan yang baik-baik.
Walau semua itu tidaklah mudah. Terkadang saya masih suka lepas kontrol ketika sedang marah.
Dan bila diperhatikan Azka memang mirip banget dengan saya, like father like son. Yang terlihat jelas adalah sifatnya yang pemalu ketika bertemu dengan orang yang baru ia kenal.
Tetapi akan menjadi akrab bila sudah tune in dengan orang itu.
Sifat yang jelas bertolak belakang dengan ibunya, yang supel, gampang akrab dengan orang.
Semoga engkau jadi anak sholeh yah mas Azka, dan semoga kedekatan kami sekeluarga bisa kekal di dunia dan di surga-Nya.
Dan semoga kita semua bisa menjadi orang tua yang baik.